Minggu, 05 Februari 2017

dongeng hujan dan kemarau

lalu hujan berkata pada kemarau, "ini waktuku, tidakkah kau puas membakar mereka hidup hidup selama itu?"
 kemarau bersiul. "aku iri padamu. kau dinantikan para petani itu. desa desa menyambutmu dengan bahagia. biarkan aku. kalau kalau aku bisa sampai pada hati mereka, boleh kau tendang aku jauh jauh."
mata hujan nanar menatap kemarau. hujan mulai ingat betapa ia dipuja warga desa dan dibenci warga kota yang penuh sampah. sejenak ia melamun dan berikutnya adalah kebisuan yang menjeda. kemarau tetap di sana, menutup telinga dan mata rapat rapat pada pinta lirih petani yang terlanjur menanam bibit baru.
"ketahuilah, kemarau, saudaraku ... aku jua jadi sumber kebencian. kadang aku terlalu bahagia, hingga meluapkan sungai sungai, menenggelamkan sawah sawah dan pemukiman. janganlah kau simpan irimu itu. kebahagiaan kita adalah berkah bagi manusia, selama tidak berlebihan." ada getar pada suara hujan. penyesalan menusuk nusuk jantungnya. ia teringat kala ia mengacaukan petani padi, meresahkan kaum ibu yang menanti turunnya harga beras. tapi, perlahan senyumnya merekah manis manis, bayangan petani yang terharu menyambutnya. kemarau mengangkat wajahnya, di matanya tercipta bayangan hujan di hadapannya. kening kemarau berkerut kerut, lalu sehembus nafas panjang dilepasnya.
 "hujan, aku mengingat wajah wajah lesu para manusia itu, menanti kepergianku dan kedatanganmu. karenaku harga bawang merah berlipat hingga empat kali harga saat kau di sana. aku tak pantas iri padamu, yang jua membawa bencana. sepantasnya aku bahagia. tapi, tidak dengan cara ini."
hujan merintik pelan pelan. "terima kasih, saudaraku. tidak semua manusia manusia berbuat kerusakan. layaknya kita yang tidak selalu menebar kebahagiaan."
kemarau beranjak pergi perlahan. membiarkan gerimis semakin ritmis. lalu datanglah senyuman itu diiringi tangis.

0 komentar: