Minggu, 11 Juni 2017

Sayang, selamat hari penyu dan kurakura sedunia..

sayang, mari kita lihat wajah kita yang telanjang.. lalu basahi jerawat yang matang maupun setengah matang.. supaya kita tahu bahwa meski menarik, wajah kita juga punya jerawat.. sayang, mari kita saling menatap.. supaya kita tahu sejauh mana kita mampu menyelam di kedalaman mata kita sendiri.. sayang, mari kita saling menghirup aroma asli tubuh kita.. supaya kita tak lagi salah mengenali wangi dan busuk.. sayang, apakah kau tega membunuhku lagi dan lagi? 21 tahun : kita berbagi.. dan aku tersesat ketika salah menerka malam sebagai pagi.. dan saat itulah kau menikamku dengan pandai : aku justeru menikmati.. sayang, kau akan mati, aku akan mati.. kita akan berhenti mencintai.. dan kau tak lagi membunuhku.. dan aku tak lagi menikmati.. ...bagaimana jika kita berjanji : mulai sekarang kita akan bertemu setahun sekali dalam ritual saling memahami.. supaya kita tak lagi salah posisi : kau pembunuh dan aku.. penipu. 1996-2017

Minggu, 05 Februari 2017

Tanya Kabar


Cobalah genggam jemari alam
Lembut hangat tentram
Cobalah cium udara pagi
Bau basah yang kau sukai
Simak cerita kelana angin di antara reranting dan dedaunan
Dan kanvasmu biru di awan
Cobalah peluk kabut yang enggan menuju pergi
Saat kelabu di langitmu minta ditemani
Bukan, bukan dengan sebait puisi dan kopi
Dengar lagu hujan dan muaranya
Rindukah kau pada suara
Kelakar capung, kupukupu, dan lebah
Adakah wangi lembut nafas kotamu
Dan sudahkah kau tanya kabar pada tanahmu?

dongeng hujan dan kemarau

lalu hujan berkata pada kemarau, "ini waktuku, tidakkah kau puas membakar mereka hidup hidup selama itu?"
 kemarau bersiul. "aku iri padamu. kau dinantikan para petani itu. desa desa menyambutmu dengan bahagia. biarkan aku. kalau kalau aku bisa sampai pada hati mereka, boleh kau tendang aku jauh jauh."
mata hujan nanar menatap kemarau. hujan mulai ingat betapa ia dipuja warga desa dan dibenci warga kota yang penuh sampah. sejenak ia melamun dan berikutnya adalah kebisuan yang menjeda. kemarau tetap di sana, menutup telinga dan mata rapat rapat pada pinta lirih petani yang terlanjur menanam bibit baru.
"ketahuilah, kemarau, saudaraku ... aku jua jadi sumber kebencian. kadang aku terlalu bahagia, hingga meluapkan sungai sungai, menenggelamkan sawah sawah dan pemukiman. janganlah kau simpan irimu itu. kebahagiaan kita adalah berkah bagi manusia, selama tidak berlebihan." ada getar pada suara hujan. penyesalan menusuk nusuk jantungnya. ia teringat kala ia mengacaukan petani padi, meresahkan kaum ibu yang menanti turunnya harga beras. tapi, perlahan senyumnya merekah manis manis, bayangan petani yang terharu menyambutnya. kemarau mengangkat wajahnya, di matanya tercipta bayangan hujan di hadapannya. kening kemarau berkerut kerut, lalu sehembus nafas panjang dilepasnya.
 "hujan, aku mengingat wajah wajah lesu para manusia itu, menanti kepergianku dan kedatanganmu. karenaku harga bawang merah berlipat hingga empat kali harga saat kau di sana. aku tak pantas iri padamu, yang jua membawa bencana. sepantasnya aku bahagia. tapi, tidak dengan cara ini."
hujan merintik pelan pelan. "terima kasih, saudaraku. tidak semua manusia manusia berbuat kerusakan. layaknya kita yang tidak selalu menebar kebahagiaan."
kemarau beranjak pergi perlahan. membiarkan gerimis semakin ritmis. lalu datanglah senyuman itu diiringi tangis.

Berhenti dulu...

Pernah suatu hari aku merasa waktu kosongku menjebakku bagai siksaan penjara Cina. Aku keluar diam diam dari penjara itu, demi mendapat air yang laju alirnya lebih besar, yang bisa hanyutkan tubuhku sekalian. Nyatanya alirannya jauh lebih turbulen daripada harapanku. Untungnya ada satu batu besar yang sanggup menghentikanku, meski aku mendapat luka luka. Setidaknya kalau aku mau nekat lagi, aku tidak akan bunuh diri. Hari ini, aku selamat karena Allah bukan karena batu. Itu, syukuri.

Di sepertiga

Jejak puisi memeluk sepi di antara
aksara berbicara menjelma rasa
gelisah mengetuk tiba tiba
hingga dzikir ayam memukul sang gulita tanpa suara
di sepertiga.

Harap berderap merayap menyeru pada gelap
lalu puisi merindui merangkum luka dan lupa
pada detak yang bergerak menjejak
tak peduli pada gejolak seorang anak manusia
merunduk tapi tak khusyuk
di sepertiga.

Tetes terkecup tanpa ragu di muka
penyair meringkuk bersama puisinya di antara
hati yang tertusuk meronta
 merapal pinta
di sepertiga.

Lihat punggung rapuh yang dulunya tangguh
dan mata redup enggan menutup
penyair dan puisinya kini gemetar keluar menuju latar
rupanya mereka tersabit usia tua
hanya menunggu senja bersambut duka
dan mereka tak lagi bisa berjumpa
di sepertiga.

Malang
Sya'ban 1437 H