sayang, mari kita lihat wajah kita yang telanjang.. lalu basahi jerawat yang matang maupun setengah matang.. supaya kita tahu bahwa meski menarik, wajah kita juga punya jerawat..
sayang, mari kita saling menatap.. supaya kita tahu sejauh mana kita mampu menyelam di kedalaman mata kita sendiri..
sayang, mari kita saling menghirup aroma asli tubuh kita.. supaya kita tak lagi salah mengenali wangi dan busuk..
sayang, apakah kau tega membunuhku lagi dan lagi? 21 tahun : kita berbagi.. dan aku tersesat ketika salah menerka malam sebagai pagi.. dan saat itulah kau menikamku dengan pandai : aku justeru menikmati..
sayang, kau akan mati, aku akan mati.. kita akan berhenti mencintai.. dan kau tak lagi membunuhku.. dan aku tak lagi menikmati..
...bagaimana jika kita berjanji : mulai sekarang kita akan bertemu setahun sekali dalam ritual saling memahami.. supaya kita tak lagi salah posisi : kau pembunuh dan aku.. penipu.
1996-2017
Minggu, 11 Juni 2017
Minggu, 05 Februari 2017
Tanya Kabar
Cobalah genggam jemari alam
Lembut hangat tentram
Cobalah cium udara pagi
Bau basah yang kau sukai
Simak cerita kelana angin di antara reranting dan dedaunan
Dan kanvasmu biru di awan
Cobalah peluk kabut yang enggan menuju pergi
Saat kelabu di langitmu minta ditemani
Bukan, bukan dengan sebait puisi dan kopi
Dengar lagu hujan dan muaranya
Rindukah kau pada suara
Kelakar capung, kupukupu, dan lebah
Adakah wangi lembut nafas kotamu
Dan sudahkah kau tanya kabar pada tanahmu?
dongeng hujan dan kemarau
lalu hujan berkata pada kemarau, "ini waktuku, tidakkah kau puas
membakar mereka hidup hidup selama itu?"
kemarau bersiul. "aku iri padamu. kau dinantikan para petani itu. desa desa menyambutmu dengan bahagia. biarkan aku. kalau kalau aku bisa sampai pada hati mereka, boleh kau tendang aku jauh jauh."
mata hujan nanar menatap kemarau. hujan mulai ingat betapa ia dipuja warga desa dan dibenci warga kota yang penuh sampah. sejenak ia melamun dan berikutnya adalah kebisuan yang menjeda. kemarau tetap di sana, menutup telinga dan mata rapat rapat pada pinta lirih petani yang terlanjur menanam bibit baru.
"ketahuilah, kemarau, saudaraku ... aku jua jadi sumber kebencian. kadang aku terlalu bahagia, hingga meluapkan sungai sungai, menenggelamkan sawah sawah dan pemukiman. janganlah kau simpan irimu itu. kebahagiaan kita adalah berkah bagi manusia, selama tidak berlebihan." ada getar pada suara hujan. penyesalan menusuk nusuk jantungnya. ia teringat kala ia mengacaukan petani padi, meresahkan kaum ibu yang menanti turunnya harga beras. tapi, perlahan senyumnya merekah manis manis, bayangan petani yang terharu menyambutnya. kemarau mengangkat wajahnya, di matanya tercipta bayangan hujan di hadapannya. kening kemarau berkerut kerut, lalu sehembus nafas panjang dilepasnya.
"hujan, aku mengingat wajah wajah lesu para manusia itu, menanti kepergianku dan kedatanganmu. karenaku harga bawang merah berlipat hingga empat kali harga saat kau di sana. aku tak pantas iri padamu, yang jua membawa bencana. sepantasnya aku bahagia. tapi, tidak dengan cara ini."
hujan merintik pelan pelan. "terima kasih, saudaraku. tidak semua manusia manusia berbuat kerusakan. layaknya kita yang tidak selalu menebar kebahagiaan."
kemarau beranjak pergi perlahan. membiarkan gerimis semakin ritmis. lalu datanglah senyuman itu diiringi tangis.
kemarau bersiul. "aku iri padamu. kau dinantikan para petani itu. desa desa menyambutmu dengan bahagia. biarkan aku. kalau kalau aku bisa sampai pada hati mereka, boleh kau tendang aku jauh jauh."
mata hujan nanar menatap kemarau. hujan mulai ingat betapa ia dipuja warga desa dan dibenci warga kota yang penuh sampah. sejenak ia melamun dan berikutnya adalah kebisuan yang menjeda. kemarau tetap di sana, menutup telinga dan mata rapat rapat pada pinta lirih petani yang terlanjur menanam bibit baru.
"ketahuilah, kemarau, saudaraku ... aku jua jadi sumber kebencian. kadang aku terlalu bahagia, hingga meluapkan sungai sungai, menenggelamkan sawah sawah dan pemukiman. janganlah kau simpan irimu itu. kebahagiaan kita adalah berkah bagi manusia, selama tidak berlebihan." ada getar pada suara hujan. penyesalan menusuk nusuk jantungnya. ia teringat kala ia mengacaukan petani padi, meresahkan kaum ibu yang menanti turunnya harga beras. tapi, perlahan senyumnya merekah manis manis, bayangan petani yang terharu menyambutnya. kemarau mengangkat wajahnya, di matanya tercipta bayangan hujan di hadapannya. kening kemarau berkerut kerut, lalu sehembus nafas panjang dilepasnya.
"hujan, aku mengingat wajah wajah lesu para manusia itu, menanti kepergianku dan kedatanganmu. karenaku harga bawang merah berlipat hingga empat kali harga saat kau di sana. aku tak pantas iri padamu, yang jua membawa bencana. sepantasnya aku bahagia. tapi, tidak dengan cara ini."
hujan merintik pelan pelan. "terima kasih, saudaraku. tidak semua manusia manusia berbuat kerusakan. layaknya kita yang tidak selalu menebar kebahagiaan."
kemarau beranjak pergi perlahan. membiarkan gerimis semakin ritmis. lalu datanglah senyuman itu diiringi tangis.
Berhenti dulu...
Pernah suatu hari aku merasa waktu kosongku menjebakku bagai siksaan
penjara Cina. Aku keluar diam diam dari penjara itu, demi mendapat air
yang laju alirnya lebih besar, yang bisa hanyutkan tubuhku sekalian.
Nyatanya alirannya jauh lebih turbulen daripada harapanku. Untungnya ada
satu batu besar yang sanggup menghentikanku, meski aku mendapat luka
luka. Setidaknya kalau aku mau nekat lagi, aku tidak akan bunuh diri.
Hari ini, aku selamat karena Allah bukan karena batu. Itu, syukuri.
Di sepertiga
Jejak puisi memeluk sepi di antara
aksara berbicara menjelma rasa
gelisah mengetuk tiba tiba
hingga dzikir ayam memukul sang gulita tanpa suara
di sepertiga.
Harap berderap merayap menyeru pada gelap
lalu puisi merindui merangkum luka dan lupa
pada detak yang bergerak menjejak
tak peduli pada gejolak seorang anak manusia
merunduk tapi tak khusyuk
di sepertiga.
Tetes terkecup tanpa ragu di muka
penyair meringkuk bersama puisinya di antara
hati yang tertusuk meronta
merapal pinta
di sepertiga.
Lihat punggung rapuh yang dulunya tangguh
dan mata redup enggan menutup
penyair dan puisinya kini gemetar keluar menuju latar
rupanya mereka tersabit usia tua
hanya menunggu senja bersambut duka
dan mereka tak lagi bisa berjumpa
di sepertiga.
Malang
Sya'ban 1437 H
aksara berbicara menjelma rasa
gelisah mengetuk tiba tiba
hingga dzikir ayam memukul sang gulita tanpa suara
di sepertiga.
Harap berderap merayap menyeru pada gelap
lalu puisi merindui merangkum luka dan lupa
pada detak yang bergerak menjejak
tak peduli pada gejolak seorang anak manusia
merunduk tapi tak khusyuk
di sepertiga.
Tetes terkecup tanpa ragu di muka
penyair meringkuk bersama puisinya di antara
hati yang tertusuk meronta
merapal pinta
di sepertiga.
Lihat punggung rapuh yang dulunya tangguh
dan mata redup enggan menutup
penyair dan puisinya kini gemetar keluar menuju latar
rupanya mereka tersabit usia tua
hanya menunggu senja bersambut duka
dan mereka tak lagi bisa berjumpa
di sepertiga.
Malang
Sya'ban 1437 H
Rabu, 11 Februari 2015
Dewi Malam
Terbitlah kau rembulan
Sang dewi malam
Yang bergulir anggun
di kubah langit
Dentingkanlah lagu
kelembutan dan kedamaian
Pada kami yang lelah
mencumbui hari
Robeklah kabut awan
dengan cahayamu
Tunjukkan pada bumi
kesempurnaan
Bersanding engkau
dengan Jupiter di singgasana
Adalah purnama keperakan
Yang menghangatkan
bumi kala sunyi
Kala harapan kami
terangkat dalam do’a dan syukur pada ilahi
Sepi meronta
Kemana kau bersembunyi?
Ratu kegelapan
tergelincir
Semburat keemasan
berhebat diri
Di ufuk timur
Tinggi di awan kicau
penuh sukacita
Merenggut sepi
seketika
Minggu, 13 April 2014
Lagu Hujan dan Surat Luka
Kilauan itu bermuara
Bermelodi menyerbu padang yang sunyi
Belukar berdansa bersama angin
Surat lukaku telah tiba..
Sore ini
Hujan turun bagaikan puisi
Syairkan mimpi dan sunyi
Biarlah langit menjadi kanvas
Bagi lukisan imajinasiku untuk temukan makna
Ku ingin menari di antara dentingan hujan
Menebarkan masa lalu seluas rasa
Mendambakan luka gugur di rerimbun lupa
Biarlah aku larut dalam basah dan dingin senja
Aku bukanlah ksatria
Yang mampu perangi kesedihanmu
Membunuh kesepianmu dengan pedangku
Matikan langkah pasukan pembawa duka dan luka
Ku percaya kau bukanlah pembunuh
Yang menyayat nadi kawanmu dengan belati kata-kata
Duniamu bagaikan air mengaliri matahari
Jika hilang adalah satu-satunya pilihan
Biarkan hujan ini tetap dentingkan lagu senja
Dan aku akan luluh lantah dalam lupa
Butiran butiran itu gugur begitu saja
Dari sudut sudut mata yang merangkum kisah
Hujan bagaikan tirai yang sembunyikan semburat jingga
Kau lempar asa sejauh mana
dalam eksplorasimu untuk temukan peneduh jiwa?
Selepas senja singgahlah di waktu ke-empat
Dialah Sang Peneduh Jiwa
Yang kau temui di tiap sujudmu
Langganan:
Postingan (Atom)