lalu hujan berkata pada kemarau, "ini waktuku, tidakkah kau puas
membakar mereka hidup hidup selama itu?"
kemarau bersiul. "aku iri padamu. kau dinantikan para petani itu. desa
desa menyambutmu dengan bahagia. biarkan aku. kalau kalau aku bisa
sampai pada hati mereka, boleh kau tendang aku jauh jauh."
mata hujan nanar menatap kemarau. hujan mulai ingat betapa ia dipuja
warga desa dan dibenci warga kota yang penuh sampah. sejenak ia melamun
dan berikutnya adalah kebisuan yang menjeda. kemarau tetap di sana,
menutup telinga dan mata rapat rapat pada pinta lirih petani yang
terlanjur menanam bibit baru.
"ketahuilah, kemarau, saudaraku ... aku jua jadi sumber kebencian.
kadang aku terlalu bahagia, hingga meluapkan sungai sungai,
menenggelamkan sawah sawah dan pemukiman. janganlah kau simpan irimu
itu. kebahagiaan kita adalah berkah bagi manusia, selama tidak
berlebihan." ada getar pada suara hujan. penyesalan menusuk nusuk
jantungnya. ia teringat kala ia mengacaukan petani padi, meresahkan kaum
ibu yang menanti turunnya harga beras. tapi, perlahan senyumnya merekah
manis manis, bayangan petani yang terharu menyambutnya. kemarau
mengangkat wajahnya, di matanya tercipta bayangan hujan di hadapannya.
kening kemarau berkerut kerut, lalu sehembus nafas panjang dilepasnya.
"hujan, aku mengingat wajah wajah lesu para manusia itu, menanti
kepergianku dan kedatanganmu. karenaku harga bawang merah berlipat
hingga empat kali harga saat kau di sana. aku tak pantas iri padamu,
yang jua membawa bencana. sepantasnya aku bahagia. tapi, tidak dengan
cara ini."
hujan merintik pelan pelan. "terima kasih, saudaraku. tidak semua
manusia manusia berbuat kerusakan. layaknya kita yang tidak selalu
menebar kebahagiaan."
kemarau beranjak pergi perlahan. membiarkan gerimis semakin ritmis. lalu
datanglah senyuman itu diiringi tangis.